Dilema Diary
Aku rindu, marah, bingung, dan segala perasaan yang kurasakan biasanya kutuangkan di dalam diary. Rasanya plong. Lalu beberapa hari kemudian aku baca lagi, ingin segera kusobek itu kertas.
Perasaan itu terus berulang terjadi. Kini ada banyak orang yang juga suka menuangkan perasaan di buku catatan atau jurnalnya. Tidak salah, menuangkan perasaan dalam tulisan kita memang sangat menenangkan.
Yang lebih puas lagi, tak ada yang tahu apa yang kita tuliskan tersebut. Diary menjadi buku tempat menyimpan rahasia.
Waktu terus berjalan. Sudah ada sekitar 6 buku diary yang kumiliki. Lalu datanglah kehidupan di mana merasa tidak ada waktu untuk mencatat, sering lupa menulis, dan godaan untuk menulis di dalam ponsel.
Kalian ada yang pernah menulis catatan harian di ponsel?
Saya sempat cukup terobsesi dengan yang namanya diary digital. Apalagi kalau kita lihat, pilihan aplikasi diary digital ini ada banyak, isinya lucu menggemaskan, dan gampang di bawa kemana–mana, dan tentu saja murah, bahkan tanpa biaya.
Iya, tanpa biaya asal ada kemauan saja.
Saya pikir, seru sekali nih. Pasti saya akan lebih rajin menulis di diary digital ini. Ponsel kan jarang lepas dari genggaman.
Tapi, daripada menulis, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengutak–atik diary digital itu. Butuh waktu untuk mempelajarinya.
Setelah merasa cukup paham, saya set waktu pengingat juga. Pokoknya, merasa yakin sekali akan bisa mengisi secara rutin.
Seminggu, dua minggu, masih berjalan. Excited sekali bisa ambil foto dan taruh di diary itu!
Tapi tentu saja itu tidak berjalan lama. Godaan scrolling instagram lebih menggoda daripada mengisi diary. Iya, ponsel memang jarang lepas dari genggaman, tapi nyatanya menulis di diary digital tidak menyenangkan saat menulis buku!
Teknologi nyatanya tak selalu memudahkan seperti yang kita kira ya. Bahkan distraksinya lebih besar.
Balik lagi, mau digital maupun pakai buku, menulis tetap harus dipertahankan!
