Menyoal 99 Syahwat Perempuan

Morning Pages
3 min readNov 18, 2024

--

Semalam aku membaca buku. Ada obrolan antara Hasan Basri yang ingin melamar Rabi’ah Al Adawiyah. Beberapa kali melamar, beberapa kali pula ditolak. Rabi’ah menjawab : Kalau syahwat perempuan yang katanya 99 saja mampu menahan diri, kenapa laki-laki yang hanya punya 1 syahwat malah ingin menikah lagi atau segera menikah setelah ditinggal istri?

Photo by Microsoft 365 on Unsplash

Pikiranku terus terbawa oleh bacaan tersebut. Semalam sempat ngobrol sebentar soal ini dengan suami, tapi tidak bisa lama. Anak-anak terus menghujani kami dengan berbagai permintaan. Ada yang minta dielus-elus, dipukpuk, dibacakan cerita, hingga kami pun menutup hari dengan permintaan anak-anak untuk membaca doa tidur bersama-sama. Diiringi tiga qul dan ayat kursi. Sempat lirih aku lafalkan ayat hafadzoh juga untuk mereka.

Pagi sudah menjelang, tapi pikiranku terus terbebani dan ingin segera membincang hal ini kepada suamiku. Aku ingin mendapatkan respon dari pikiran seorang laki-laki tentang hal ini.

Akhirnya kesempatan itu datang. Obrolan singkat selama 10 menit sembari menunggu adzan subuh berkumandang dari gawaiku.

Bagaimana menyikapi obrolan Hasan Basri dengan Rabi’ah ini sebagai sosok seorang lelaki? Padahal yang muncul di masyarakat jelas seperti yang dilontarkan oleh Rabi’ah. Apa iya perempuan itu punya 99 syahwat?

Dia mulai menyingkapkan selimut dan mencoba mencerna pertanyaanku sembari tiduran lagi. Dan matanya masih tertutup karena masih ngantuk. Meski begitu otaknya mulai merespon dengan melihat berbagai aspek.

Perempuan itu memang sedari dulu dianggap lemah. Hal itu pula yang melanggengkan adanya patriarki di masyarakat kita. Bahkan secara tidak sadar banyak aspek negatif yang dilanggengkan oleh masyarakat kepada perempuan. Bahkan sosok perempuan malah banyak yang muncul menjadi tokoh-tokoh makhluk halus di Indonesia.

Karena perempuan punya syahwat 99, yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, maka perempuan pun dikerangkeng dalam bentuk pembatasan. Begitu penjelasannya.

Mungkin itu yang membuat kita sebagai perempuan malah memaklumi pembatasan tersebut hingga tidak mengenali syahwatnya sendiri? sambutku.

Lain cerita dengan laki-laki, lanjutnya.

Dengan kondisi laki-laki yang memiliki satu nafsu, malah dianggap sebagai sosok manusia yang lebih rasional dalam menggunakan akalnya. Nampaknya konteks ini yang lebih familiar dalam keseharian kita. Perempuan lebih banyak menggunakan perasaan mereka, sementara laki-laki dengan akalnya. Hal ini juga yang kerap menjadi pegangan di masyarakat hingga patriarki tumbuh dengan subur.

Bacaan yang mengusikku ini tentu bukan alasan. Ada banyak hadits yang menyatakan bahwa perempuan kurang akal, yang mana konsekwensinya sebagai perempuan kita tidak bisa menjadi saksi sendirian, tapi harus dua perempuan,atau bahkan dianggap kurang beragama tersebab hal biologis (menstruasi, hamil, maupun melahirkan).

Kondisi munculnya suatu hadits biasanya muncul karena ada situasi yang muncul saat itu. Sementara ijtihad ulama pun ikut menyesuaikan zaman. Sebagaimana Ibn Qoyyim pun menyanggah pernyataan hadits dari Abu Hurairah tersebut, karena katanya perempuan itu dari darah panas sementara darah panas laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Beliau juga menuturkan contoh sebagaimana Rasulullah yang menikah lebih dari satu.

Tapi tentu saja yang paling populer adalah hadits yang saya kutip di awal. Bahkan hadits tersebut biasanya menjadi acuan untuk meminta perempuan lebih banyak mengurusi hal domestik saja.

Kondisi perempuan seharusnya tidak lagi menjadi kelas kedua setelah laki-laki, kan? Sementara jika disebabkan oleh faktor biologis, yang mana sejarahnya yang menyebabkan perempuan tidak bisa menuntut ilmu karena kondisi tersebut, sekarang ini bahkan perempuan banyak yang menjadi pengisi acara bahkan wara wiri meski dalam kondisinya dirinya menstruasi, hamil, maupun menyusui.

Bukannya dengan adanya kelemahan dari sisi perempuan ini malah harusnya perempuan tidak mendapatkan diskriminasi dari masyarakat? Laki-laki pun tentu saja memiliki kelemahan, misal dalam mengelola perasaannya, yang katanya hanya ada satu, dan mengendalikan akalnya agar tetap seimbang.

Karena sesungguhnya tidak ada yang salah dengan syahwat/nafsu, toh? Banyak atau sedikit, bukannya kita sebagai pemilik yang harus mengendalikannya? menjadikannya nafsu al muthmainnah misalnya?!

Justru, kembali ke pertanyaan Rabi’ah tadi. Kenapa laki-laki yang hanya punya akal 9 dan syahwat 1 tapi menikah lagi atau buru-buru menikah setelah ditinggal istrinya?

--

--

Morning Pages
Morning Pages

No responses yet