Mengisi Rumah Kosong dengan Konsep Minim Sampah

Morning Pages
3 min readOct 3, 2020

--

September ini, saya dibuat sibuk oleh urusan pindah dan mengisi rumah kosong. Semenjak menyelami hal-hal terkait hidup minim sampah/zero waste, hidup berkelanjutan dan gaya hidup minimalis, mengisi rumah kosong tidak semudah biasanya. Banyak yang perlu dipikirkan.

‘ Kalo bisa, nggak banyak barang-barang plastik nih! Sustainable nggak nih? Kira-kira nanti masih layak dilungsurkan nggak? Nyari yang bisa dijual lagi? Beli ini itu sebenarnya perlu nggak?’

Baca juga : Lifehack untuk hidup merantau

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menghantui saya. Merinci listing belanjaan dengan mempertimbangkan pertanyaan di atas membuat saya sadar, ternyata pola pikir saya sedikit berubah. Entah kenapa, menyempil rasa bersalah sendiri jika tidak memenuhi kriteria lingkungan. Padahal dalam urusan membeli pernak pernik rumah biasanya saya suka kebablasan.

Mengisi rumah kosong ini adalah momentum penting. Menurut saya, Isi rumah akan mencerminkan gaya hidup pemiliknya. Memulai mengisi dengan berbagai barang yang biasa tentu saja mudah, selagi ada budget dan sesuai kebutuhan.

Nah pertanyaannya, apa iya semuanya sesuai kebutuhan?

Saya ingin mengisi rumah ini tak hanya sekadar terisi. Tapi juga sesuai kebutuhan keluarga dan bernilai tentunya. Setidaknya memiliki nilai yang berdampak pada lingkungan.

Konsep Zero Waste dalam Mengisi Rumah Kosong

Saya ingin memiliki rumah yang ramah lingkungan. Tentu isian yang ada di dalamnya perlu terdiri dari barang-barang yang ramah pada lingkungan. Setidaknya, saya perlu menekankan bahwa ‘cukup beli yang benar-benar esensial saja’ itu penting.

Esensial bagi masing-masing orang tentu berbeda-beda. Bisa jadi esensial menurut saya, namun tidak esensial menurut kamu. Namun, tentu pertimbangan-pertimbangan lingkungan perlu menjadi pegangan kita dalam hal ini.

Memiliki rumah sendiri, ya meski masih ngontrak memberikan kendali kepada kita untuk mengisi rumah seperti yang kita inginkan. Ketika mudik kemarin dan melihat konsep-konsep lingkungan yang tidak terealisasikan, saya ingin dengan segera dan sungguh-sungguh untuk mempraktikkan gaya hidup bebas sampah di rumah saya.

Baca juga :Mencoba Hidup Lebih Minim Sampah

Namun ternyata, menjadi pelaku zero waste bagi ibu rumah tangga sendiri ternyata banyak sekali tantangannya. Ketika mengambil bahkan hanya untuk belanja kebutuhan pokok saja, pertimbangan-pertimbangan seperti : umur dan kualitas barang, bahan dasar suatu barang, dan siapa yang menjual/membuatnya pun menjadi penting.

Seringkali saya merasa ribet sendiri memikirkan hal tersebut. Apa iya memang seribet itu mempraktikkan gaya hidup zero waste? Tapi, lalu balik lagi. Membayangkan sampah-sampah yang muncul karenanya, dan dampaknya bagi bumi di kehidupan anak-cucu kita menjadi alasan kuat kenapa perlu memiliki pola pikir demikian.

Berpikir kritis dimulai dari rumah

Sambil memasak, biasanya menjadi me time saya untuk melakukan hobi mendengarkan podcast. Kali ini saya mendengarkan podcastnya Mas Iyas Lawrence yang mengundang Mbak Andhyta F. Utami. Obrolannya memberi insight baru buat saya.

Dalam obrolannya, Mba Andhyta sebagai pegiat lingkungan yang juga pekerja di Bank Dunia selalu lagi bilang bahwa perempuan perlu sekali untuk terus belajar, ia pengambil keputusan besar, dan selalu berpikir kritis dalam pengambilan keputusan besar, terutama yang terkait dengan lingkungan.

Saya menggarisbawahi pernyataannya tentang perempuan perlu berpikir kritis. Apa sih berpikir kritis? dan kenapa perempuan perlu berpikir kritis?

Saya lalu membaca beberapa artikel tentang berpikir kritis. Eh, ternyata cara ini juga sudah termasuk dalam sikap berpikir kritis itu sendiri katanya. Ketika kita ingin tahu, lalu kita mencari tahu, membaca banyak tulisan, membaca perspektif dari berbagai ahli, ini sudah satu tahap awal berpikir kritis.

Baca juga : Membangun Kebiasaan Sehat Perempuan

Selain itu, ternyata berpikir kritis itu sendiri ada unsur-unsurnya. Para ahli bilang bahwa ketika kita mengambil sebuah keputusan dengan mampu berpikir secara mandiri, jernih, rasional dan nggak ikut-ikutan, itu sudah berpikir kritis. Ditambah lagi, jika kita mampu melibatkan kemampuan untuk merefleksikan ide atau masalah, menerapkan alasan, dan membuat hubungan logis antar ide.

Siapapun perlu berpikir kritis, termasuk perempuan. Dan, tempat terbaik untuk memulai menerapkan berpikir kritis adalah rumah.

Berpikir kritis dimulai dari kegiatan keluarga semisal mengisi rumah, menerapkan gaya hidup yang baik dalam rumah tersebut, dan membangun generasi yang gemar belajar. Itu semua rasanya penting biar hidup lebih bernilai, tidak hanya sekadar ikut-ikutan, dan memiliki ciri tersendiri.

Begitu kan kira-kira? Menurut kamu gimana?

*tulisan ini dimuat juga di ghinarahmatika.com

--

--

Morning Pages
Morning Pages

No responses yet